Minggu, 11 Oktober 2015

"Jurnalistik Itu Menyenangkan" (Menuju Medali Emas LKJS 2015, Bagian 2)

Cerita sebelumnya: Tim jurnalistik S'Detik SMP SMART Ekselensia Indonesia menjadi finalis Lomba Karya Jurnalistik Siswa Nasional (LKJS) 2015. Dengan dukungan berbagai pihak, mereka menuju Surakarta, Jawa Tengah, lokasi final kegiatan ini.

Tiga puluh sembilan tim jurnalistik SMP se-Indonesia menjadi finalis LKJS yang diadakan untuk kedua kalinya tahun ini. Selain SMP SMART EI, finalis lain dari Jawa Barat adalah SMP Al Maksum, Sumedang. Dari Bandung, Senin pagi (5/10) kami menaiki kereta eksekutif Lodaya, yang tiba di Surakarta terlambat dari jadwal kedatangan.

Kami langsung bergegas mendaftarkan diri di Hotel Sunan Solo, yang disiapkan panitia. Malam itu juga kami bertemu peserta lain dari seluruh Indonesia saat acara pembukaan. Kami jadi tahu bahwa satu tim finalis ternyata batal datang ke Surakarta ini, entah karena apa. Mungkin karena tidak diizinkan meninggalkan UTS yang sedang berlangsung. Mungkin, lhooo...

Malam itu, (dan malam2 berikutnya) melalui telepon genggam asrama yang dipinjamkan kepada kami, pembimbing kami sempat mengirim pesan tertulis menanyakan kabar kedatangan dan pembukaan. Sayang pesan itu tak bisa kami jawab, karena telepon yang kami bawa tidak ada pulsanya, hehe...

Kami segera beristirahat karena lelah. Hari berikutnya, Selasa (6/10) adalah jadwal presentasi buletin yang telah kami kirimkan. Presentasi ini dilakukan di dalam ruang tertutup di hadapan dewan juri. Satu per satu tim dipanggil sesuai giliran yang sudah ditetapkan. Tahu tidak, kami dapat giliran ke-36 dari 38 finalis. Tentu lama kami menunggu, rasa grogi dan tak sabar menyelimuti kami selama menanti.

Akhirnya giliran kami tiba! Sebelumnya diperkirakan presentasi akan berlangsung 10 menit, dilanjutkan pertanyaan dari dewan juri. Namun, tampaknya para juri sudah cukup lelah dan bosan saat giliran kami tiba, sehingga presentasi kami berjalan cukup singkat.

Usai presentasi, kami diberitahu bahwa besok setiap tim harus memproduksi sebuah buletin mini berdasar kegiatan yang akan dilaksanakan. Hal ini memang sudah disampaikan pembimbing kami saat pembekalan, mengingat kami telah diminta menyiapkan komputer jinjing dan kamera sebelum berangkat.

Hari ketiga, Rabu (7/10), para peserta diajak mengunjungi beberapa lokasi di kota Surakarta, di antaranya gedung Monumen Pers Nasional dan sebuah kampung sentra kerajinan tradisional. Kami mengamati berbagai hal menarik, melakukan wawancara, dan mengambil foto di tempat yang kami kunjungi. Sesampai kembali di hotel, kami diberi waktu hingga jam tertentu di malam hari untuk segera menuangkan pengalaman kami dalam buletin mini.

Banyak tim yang belum berhasil menyelesaikan tugas ini pada malam itu, demikian juga tim S'Detik. Kami benar2 merasakan beratnya kehidupan jurnalis yang harus bekerja keras di bawah tekanan tenggat demi bisa menyelesaikan berita yang bermutu bagi masyarakat. Kami juga ingat pengalaman kami di sekolah sebelumnya, saat bersama teman2 ditunggui hingga malam hari oleh pembimbing kami untuk menyelesaikan majalah dinding Duabelasdetik hingga bisa dipasang untuk dibaca warga SMART EI. Tak heran jika perasan kami bertiga malam itu sangat emosional dan serasa diliputi "tegangan tinggi". Karena itu, betapa lega hati kami saat panitia mengumumkan bahwa karya yang belum selesai bisa dilanjutkan esok paginya setelah sarapan.

Seperti tim lain, pagi hari Kamis (8/10) itu, kami begitu bersemangat menyelesaikan karya buletin empat halaman kami. Judul laporan utama kami adalah "Jurnalis Berbudaya" Alhamdulillah, sebelum batas waktu pukul 11.30 pagi itu, kami berhasil mengumpulkannya kepada panitia.

Tiba saat kami untuk berusaha tenang menunggu hasil penilaian dewan juri atas karya-karya kami. Saat itu kami sudah berkenalan dengan teman-teman dari beberapa tim lain. Ada yang berasal dari Sumatera, atau Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kami saling berbagi cerita dan pengalaman menjalankan kegiatan jurnalistik di sekolah masing-masing, juga bertukar karya.

Malam itu semua peserta kembali berkumpul di ballroom hotel untuk acara pengumuman pemenang dan penutupan acara. Akan ada 15 tim yang akan menerima medali emas, perak dan perunggu sebagai pemenang LKJS 2015. Satu per satu pemenang dipanggil mulai dari juara harapan. Harapan kami mulai melambung.

Jantung kami makin berdebar saat makin banyak pemenang medali dipanggil maju ke panggung menerima hadiah. Sudah empat belas tim maju, dan perasaan kami mulai tak menentu, saat akhirnya nama buletin penerima gelar juara 1 utama disebutkan oleh pembawa acara. "SDeik dari SMP SMART Ekselensia Indonesia, Bogor."

Dengan perasaan setengah tak percaya, kami naik ke atas panggung, diiringi tepuk tangan pengunjung ruang luas itu. Iya, rupanya nama buletin "S'Detik" kami dibaca berbeda oleh panitia. Tidak apa-apa, yang penting kami berhasil! Tentu kami begitu gembira dan bahagia. Sebagai juara 1 utama, kami juga mendapat predikat peserta terbaik dalam kategori tulisan opini, tata letak dan fotografi. Kami menerima medali emas, piala dan uang pembinaan 15 juta rupiah (sebelum dipotong pajak).

Kami pun teringat semua jerih payah di klub jurnalistik selama satu tahun ini. Semua pelatihan ekskul dan praktik jurnalistik di lapangan bersama teman-teman dan kakak senior; bimbingan dan doa orang tua dan guru-guru kami, ternyata berbuah manis. Tak lupa dukungan dan kepercayaan para donatur yang tidak pernah kami temui, yang memungkinkan kami belajar di sekolah hebat, SMART Ekselensia Indonesia.

Akhirnya kami menuju kamar tidur dengan senyum terulas di bibir. Kami masih sempat memanfaatkan jaringan wi-fi hotel untuk menyebarkan kabar gembira ini melalui akun media sosial kami. Walau sudah lewat tengah malam, Syahrizal juga masih sempat "chatting" dgn pembimbing kami di Jakarta mengabarkan keberhasilan dan rencana kepulangan ke Bogor esok harinya. Padahal, kalau bisa, kami masih ingin berkeliling dulu menjelajah kota Solo atau Surakarta, kali ini tanpa beban karena tugas mewakili klub jurnalistik telah sukses kami tunaikan. Sayang di Bogor sana kami telah dirindukan oleh guru-guru kami bersama dengan soal-soal UTS :D

Jumat pagi (9/10), kami telah selesai berkemas, dan segera menuju Stasiun Solo Balapan, menaiki kereta Argo Lawu menuju Jakarta. Kereta bergerak sesuai jadwal, membawa kami meninggalkan kota Solo yang penuh kenangan. Benar, seperti tulisan opini yang dibuat oleh Putra pada SDetik edisi 6, kegiatan jurnalistik itu menyenangkan!

Mohon kembali doa dan dukungan agar karya klub jurnalistik S'Detik bisa berlaga kembali pada final LKJS 2016...

-Nashrul Azmi, Putra Ramadhan, Syahrizal Rachim- #Terkabul2015

"Asa Baru Jurnalis Muda SMART EI" (Menuju Medali Emas LKJS 2015, Bagian 1)

Untuk kali kedua, SMP SMART Ekselensia Indonesia mengirim karya tim jurnalistik S'Detik mengikuti Lomba Karya Jurnalistik Siswa (LKJS) tingkat nasional. Keikutsertaan pada kegiatan tahun ini ternyata berbuah manis: meraih juara 1 utama. Inilah kisah perjuangan meraih predikat tersebut.

Masih teramat dini saat itu, Senin (5/10) di kampus SMART EI. Namun dari arah asrama, empat sosok berjalan menuju lapangan parkir di depan sekolah. Ustad July Siswanto, kepala SMART EI, mengantar saya -Nashrul Azmi- dan dua rekan saya, Syahrizal Rachim dan Putra Ramadhan, memasuki mobil yang dikendarai ustad Neming. Sekitar pukul dua pagi itu, saat hampir seluruh teman kami tertidur bersama mimpi tentang soal-soal Ulangan Tengah Semester, kami membelah jalan dari Bogor menuju Bandung, ibukota Jawa Barat.

Saya, Rizal dan Putra, saat ini duduk di kelas 9 SMP SMART Ekselensia Indonesia. Kami bertiga adalah utusan dari S'Detik, klub jurnalistik SMART EI yang sudah berdiri sejak tahun 2012. Salah satu produk jurnalistik klub kami adalah buletin tiga bulanan S'Detik. Edisi nomor 6 buletin ini kami terbitkan bulan Mei 2015  untuk berpartisipasi dalam Lomba Karya Jurnalistik Siswa (LKJS) SMP tingkat nasional yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Laporan utama kami di edisi tersebut bertajuk "Asa Baru Jurnalis Muda."

Alhamdulillah, sebuah surat pemberitahuan dari panitia bertanggal 28 September 2015, tiba di sekolah awal Oktober,  menyatakan bahwa S'Detik menjadi salah satu dari 39 finalis LKJS tahun ini.

Isi surat itu membuat kami sibuk bersiap sejak Kamis (1/10). Sebenarnya ada sembilan anggota redaksi S'Detik dalam buletin ini. Selain kami bertiga, ada Alfan Hakim, Lazuda Ramdhan Destian, M Fadhlullah Ramadhan, M Fajrul Iman, M Indra Triarie Saputra, dan M Irhas Esa Wisnu. Kami semua siswa kelas 9 SMP SMART EI.

Namun panitia hanya mengundang dan menanggung akomodasi serta transportasi tiga siswa dari tiap sekolah ke lokasi final di kota Surakarta, Jawa Tengah. Dengan kesepakatan anggota redaksi, maka kami yang berangkat, dengan tugas Rizal sebagai pemimpin redaksi, Putra sebagai penata letak buletin, dan saya sebagai reporter.

Bicara tentang persiapan mengikuti LKJS ini, kami sudah memulainya jauh-jauh hari. Belum berhasilnya kakak kelas kami masuk putaran final lomba yang sama tahun 2014 lalu, telah kami evaluasi bersama para senior tersebut serta pembimbing kami, ustadzah Vera Darmastuti. Dengan memerhatikan tema tentang "jurnalisme pelajar", tahun ini kami mengisi buletin dengan bersemangat, karena sepanjang semester lalu banyak kegiatan bertema jurnalistik di sekolah.

Begitu menjadi finalis, persiapan kami lebih serius. Pembimbing kami meminta kami menyiapkan slide presentasi tentang isi buletin yang kami kirim ke panitia; juga slide presentasi tentang klub jurnalistik dan SMART EI, kalau-kalau nanti ditanya oleh juri.

Rangkaian kegiatan LKJS ini berlangsung tanggal 5-9 Oktober 2015. Terbayang, kan betapa kami merasa dikejar tenggat. Ustadzah Vera menetapkan, hari Minggu sebelum kami berangkat, presentasi kami harus sudah beres agar bisa diberi masukan.

Selain slide presentasi, kami menyiapkan semua keperluan lomba, di antaranya mengurus formulir pendaftaran peserta; meminta izin tidak mengikuti UTS selama kami berlomba; meminjam komputer jinjing dan kamera foto milik sekolah; serta pakaian dan perlengkapan pribadi kami.

Sehari sebelum hari H, kami sudah hadir di ruang komputer sekolah, siap melatih presentasi kami. Ternyata ustadzah Vera juga mengundang empat anggota senior klub jurnalistik yang sekarang sudah menjadi siswa SMA, yaitu Kak Ade Putra, Kak Kabul Hidayatulloh, Kak Rizky Dwi Satrio, dan Kak Ikrom Azzam. Mereka berlima menjadi "juri" yang memerhatikan dan menanyakan berbagai hal terkait isi presentasi. Dari cara berjalan, cara memperkenalkan diri, serta urutan isi dan teknis produksi buletin, dikritisi oleh "dewan juri" ini. Kami cukup deg-degan, namun masukan yang diberikan ternyata sangat membantu kami dalam final sebenarnya.

Begitulah. Atas masukan yang diberikan, kami memperbaiki slide dan cara membawakan presentasi. Setelah waktu ashar, kami bersiap merapikan barang bawaan kami di asrama.

Waktu berjalan hingga kami dibangunkan guru asrama kami, untuk selanjutnya mengarungi dinginnya udara pukul dua pagi menuju Bandung. Di sana kami akan "dititipkan" oleh ustad July kepada Bapak Rukmanta, pendamping yang ditugaskan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menemani kami ke Surakarta.

-Nashrul Azmi- #Terkabul2015
(bersambung)

Selasa, 27 Januari 2015

Bersepeda di "Taman Kota"


Barangkali banyak siswa SMART yang memiliki rencana-rencana liburan yang menyenangkan ketika pulang kampung, semisal mengunjungi candi-candi seperti Johan FJR, atau datang ke tempat-tempat karaoke seperti Renald Maulana Fadli, atau apalah.

Tapi jangan tanya aku.

Meski, baiklah, apa salahnya aku juga menceritakan apa kegiatanku di kampung halaman?

Ini desaku dilihat dari Taman Kota Soreang
Jadi, rumahku terletak di sebuah desa, sebut saja Desa Cingcin (memang itu namanya). Desa ini berlokasi di Kota (kecil) Soreang, Kabupaten Bandung. Desaku bisa dibilang masih pelosok, meski tidak pelosok-pelosok amat. Setidaknya ikatan kekeluargaan antarwarga di desa ini sangat kuat sehingga aku sendiri bahkan hampir menganggap semua tetanggaku adalah keluargaku sendiri.

Ke mana aja lu liburan?” adalah petanyaan paling sering kuterima dari teman-temanku entah melalui obrolan di jejaring sosial atau lewat sms. Yah, kalau sudah begitu aku lebih senang menjawab “Di rumah aja, lu?” meski tidak sepenuhnya benar.

Jadi, pada hari Minggu pagi tanggal 4 Januari, aku bersama kelima adikku, ayahku dan satu anak keponakan yang masih duduk di bangku kelas 5 SD pergi ke Taman Kota Soreang. Untuk mencapai tempat itu tidaklah memerlukan waktu lama dan usaha yang sulit. Kami hanya perlu menyeberangi hamparan sawah sejauh kira-kira 100 meter yang memisahkan taman itu dengan desaku. *Jadi, bisa dibayangkan betapa pelosoknya “taman kota” itu?

Bisa kaulihat sendiri, rumput di sini tergenang
karena hujan dan kurangnya perawatan
Meski sudah dibangun sejak 2013 lalu, taman ini ternyata belum mendapat perawatan yang baik. Banyak rerumputan yang tergenang, pohon-pohon yang harusnya tumbuh juga banyak yang lebih dulu ditebang oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Pos pengawasan di taman ini juga sering kosong tidak ada yang jaga, bahkan hampir tidak terawat.

Jadi, ya, aku tidak bisa sepenuhnya mengatakan bahwa kami main ke taman kota sih. Meski tetaplah menyenangkan menghabiskan waktu dengan adik-adikku di tempat ini. Dan juga, untuk kali pertama setelah bertahun-tahun aku tidak naik sepeda karena sepedaku dulu rusak, kali ini aku mencoba lagi menggunakannya. Dan kurasa cukup berhasil.

Di sini aku juga berburu foto, meski masih amatir, dengan adik-adikku sebagai korbannya (haha). Kau bisa melihat foto-foto itu.

Memang sih, tidak banyak tempat yang kukunjungi selama pulang kampung ini (dan juga kurasa pulang kampung sebelum-sebelumnya). Namun setidaknya aku bisa menghabiskan waktu dengan adik-adikku yang masih lucu-lucu sebelum nanti mereka makin tua dan dewasa dan tidak bisa diajak bercanda lagi.

Aku juga ingat, di rumah, aku memberi satu pelajaran kecil tentang menata rambut kepada adik laki-lakiku yang duduk di bangku kelas 4 SD. Memang tidak cukup elit sih, tapi tetap saja ini penting bagiku. Sebagai kakak laki-laki tertua, aku sering gemas melihat cara merapikan rambut adikku yang terkesan kekanak-kanakan (oke, dia memang masih anak-anak). Akhirnya dia harus mendapat ceramah kecil dariku mengenai pentingnya berpenampilan keren terutama dalam merapikan rambut. Jadilah dia kuajari menyisir yang baik, meski sayangnya hingga aku pulang kembali ke SMART dia belum bisa mempraktekkan materiku dengan baik. Yah, kuharap sekarang dia sudah bisa berpenampilan rapi dengan gaya rambut yang baru. Semoga saja....

Sebenarnya masih banyak cerita-ceritaku yang cukup unik untuk kubagi, meski masih tetap di dalam rumah. Sayangnya bagianku sudah habis kali ini, tapi aku tetap akan menyempatkan waktu menulis lagi bila admin membolehkannya (hehe) dan aku juga punya waktu untuk menceritakannya.
Aku yang sedang berusaha mengendalikan sepedaku

Ini foto aku bersama adik-adikku, anak keponakanku, serta teman adikku
Jatuh bangun
Asyiknya bersepeda....

Kamis, 22 Januari 2015

While You're Away...

Well hey
So much I need to say
Been lonely since the day
The day you went away
So sad but true
For me there's only you
Been crying since the day
The day you went away


"The Day You Went Away" - M2M

Kalian tahu kan kotak yang punya nama "Panel MCB Proyektor"? Letaknya di koridor lantai atas sekolah SMART Ekselensia Indonesia, menempel di dinding luar kelas Sejarah. Kalau-kalau lupa, wujud sang kotak itu seperti ini:


Oke, sudah ingat, kan? Saya tidak akan membahas apa itu kepanjangan dari MCB. Kalau mau tahu boleh tanya ustad Andi Subandi, tenaga ahli teknologi informasi di SMART EI. Saya juga tidak perlu menjelaskan fungsi kotak tersebut. Semua siswa dan guru di SMART sudah paham. Tulisan kali ini adalah cerita tentang keterkejutan saya, saat kami para guru mendahului siswa hadir kembali untuk ke sekolah pada hari Senin lalu (19/1).

Dua minggu ditinggal penghuni sekolah yang biasanya lalu lalang, asumsinya lantai koridor atas tentu bersih kinclong. Memang iya, sebagian besarnya. Kecuali di salah satu pinggiran dinding, tepat di bawah panel yang jadi perhatian kita pagi ini.


Demikianlah, saudara-saudara. Saya terpana. Ada apa gerangan? Naluri detektif saya langsung mengarahkan pandangan ke ... ya panel di atasnya. Ada sejumput helaian rumput kering terselip di pintu panel dan celah kabel. Well, it's said that curiousity killed the cat, but there's no cat around, so I opened the door's panel...

... and found this miraculous view.

Rupanya, saat kita beberapa waktu mengambil jeda dari aktivitas rutin kita, ada yang tidak beristirahat. Mereka adalah makhluk bersayap yang tak terlihat lensa kamera, memanfaatkan kesunyian sekolah dan ketiadaan operasi "MCB Proyektor" untuk membuat sarang yang nyaman. Bagi makhluk-makhluk mungil ini, betapa hangat rupanya tinggal di antara untaian kabel saat malam hari hujan di Bogor dibandingkan di udara terbuka sana :)

Secara pribadi saya tidak keberatan, apalagi saya ingin melihat burung kiyut macam apa yang telah memilih sarang unik ini. Sayangnya pihak manajemen gedung tidak menganggap tumpukan rumput kering ini sebagai aksesori yang cocok dengan semangat 5R. Maka tanpa musyawarah dengan pihak pembuat sarang, bagian dalam panel ini dibersihkan secara manusiawi, walau mungkin tidak terlalu unggaswi ;)

Itu cerita hari Senin lalu. Hari ini Kamis, tiga hari kemudian. And you know what? Karena iseng, tadi pagi panel ini kembali saya buka, dan menjumpai pemandangan ini,


It turns out that he saga of the bird's nest continues while you're away, pals ^,^

-Vera Darmastuti- #Terkabul2015

Rabu, 21 Januari 2015

Kanal-kanal Amsterdam

"Fuuuh! Fuuuh! Fuuuh!"
Nafas saya terengah-engah begitu dipaksa untuk jogging (lari santai) sejauh 5 kilometer. Memang tubuh ini sudah sangat lama tidak dilatih, bahkan begitu diminta untuk berjalan 10 kilometer sekalipun, sudah memilih untuk menyerah. Akan tetapi tumben, kali ini saya --tanpa beban pikiran, atau paksaan dari pihak manapun, mau saja untuk jogging menyusuri jalur sepeda baru di samping progo (istilah kali khusus pembuangan, berwarna keruh, dan biasanya deras).
Saya tidak sendiri, namun ada beberapa bunga desa yang sejalan dengan saya. Mereka menuju ke arah yang sama, mungkin dengan kecepatan yang sama pula (kita jodoh dong =D). Di belakang mereka ada pesepeda, seorang anak muda, mungkin pecinta trek berbahaya, dengan kecepatan ugal-ugalan. Makin ke belakang lagi ada seorang kakek yang sudah berumur, masih bersemangat untuk lari pagi. Saya salut.

Pemandangan Gn. Sumbing memang menjadi fokus tatapan saya beberapa saat, sambil sesekali menoleh rute yang dilewati. Tanpa disadari, segeralah saya tiba di sebuah jembatan. Bukan jembatan biasa yang menyeberangkan manusia, karena jembatan ini justru melanjutkan aliran sungai yang terputus oleh jurang.

Melihat desain dan arsitektur dari jembatan ini, saya merasa ini bukan rancangan orang Indonesia. Benar saja, saya mendapatkan jawabannya begitu kakek tadi lewat, "Ono opo le? Jembatane apik to! Kuwi gaweane Londo." Yah, sangat disayangkan jembatan seperti ini tidak terawat. Memang bukan objek wisata, tapi setidaknya jembatan ini objek sejarah.

Melihat desain dari jembatan ini, saya kembali teringat pada Tower Air Kota Magelang. Ya, kedua bangunan ini sama-sama berhubungan dengan air. Tower air atau 'water torren' yang kini menjadi ikon Kota Sejuta Bunga ini masih terawat dengan baik. Bahkan masih digunakan sebagai penyimpan air. Bangunan yang terletak di sudut barat laut alun-alun yang mirip dengan 'kompor minyak' ini kini menjadi salah satu aset milik PDAM.


Tower dengan tinggi 21,2 meter ini dioperasikan pertama kali pada 1920. Desain bangunannya sendiri dirancang oleh arsitektur berkebangsaan Belanda, Hermann Thomas Karsten, dan dikerjakan oleh tenaga kerja asal Sulawesi. Hasilnya, tower ini mampu menyimpan air sebanyak 1.750.000 liter. Selain itu, untuk urusan distribusi, Belanda juga telah menanam pipa-pipa besar dan kuat sepanjang 8,5 kilometer yang digunakan untuk mengalirkan air dari tower ke 7 wilayah dari pusat kota. Walau sudah terlampau lama, pipa-pipa dengan merek Century Utrecht NV ini sama sekali belum pernah mengalami kebocoran, tetap beroperasi dan belum pernah diganti atau diperbaiki, sama seperti dengan mesin dari tower air ini.

Pembangunan Kota Tuinn (nama Magelang masa kolonial) oleh Belanda tak hanya sebatas daerah kota saja, namun juga kabupaten. Karena Magelang memang salah satu kota penting bagi Belanda, tak hanya sebagai kota basis militer, namun juga pendidikan dan perdagangan. Bahkan, kota ini juga mendapatkan pasokan listrik terlebih dahulu sebelum kota-kota yang lain.

***

Esok harinya, saya hanya bertugas jaga rumah. Namun cuaca cerah di luar menarik saya untuk mengikuti jejak saluran air bersejarah yang dibuat oleh Belanda. Tanpa berpikir panjang, saya segera angkat kaki dari rumah dan memulai ekspedisi dari jembatan kanal kemarin.

Progo atau kanal air khusus irigasi ini berhulu di Temanggung dan memiliki lebar tetap sekitar 10 meter. Bantaran progo ini bukan tanah serapan, melainkan tanggul permanen dari semen dan bebatuan. Sesekali terdapat pintu air kecil untuk mengatur volume air untuk irigasi. Dari kawasan Pondok Asri II, sungai ini berbelok ke timur menuju gerbang air Gembongan yang memiliki 2 pintu. Pintu air ini memiliki fungsi selain untuk mengatur debit aliran air, juga menahan laju air agar tidak terlalu cepat.

Progo ini terus menuju ke timur lalu berbelok ke selatan setelah berpapasan (namun tidak bersatu) dengan Kali Mbelik (kotoran) karena kedua kali ini hanya tumpang tindih. Setelah sekitar 300 meter ke selatan, barulah progo ini berbelok ke timur melalui air terjun dan terowongan. Progo ini pun kembali berpapasan dengan Wangan (saluran irigasi skala kecil sekaligus pembuangan <wangan> sampah organik), namun tetap tidak menyatu.
Setelah melewati terowongan yang di atasnya terdapat Jln. Magelang dan eks-rel kereta Magelang, barulah aliran progo ini berbelok ke selatan melewati air terjun bertingkat dan permukiman penduduk. Semakin ke selatan, aliran progo kian berkelok pelan bagaikan meander. Namun sayangnya terjadi pengendapan lumpur di sisi yang mendapatkan aliran lebih lambat.

Memasuki kawasan Tegowanon, barulah aliran progo bertemu dengan aliran yang ditransfer dari Kali Manggis melalui kanal irigasi Manggis. Berdasarkan buku "Magelang Middlepunt van den Tuinn van Java", kanal irigasi ini dibangun oleh Belanda pada tahun 1857 untuk mengairi 625 ha lahan persawahan dalam pemenuhan Trias Van Deventer, juga untuk mengurangi debit Kali Manggis yang berlebih supaya dapat mencegah terjadinya banjir bandang.

Di sebelah selatan pertemuan kedua aliran ini terdapat gerbang air Tegal-Jambe. Gerbang yang dibangun bersamaan dengan kanal-kanal air ini mengatur laju air ke pusat Kota Tuinn. Saya berpaling ke arah timur, mengikuti kanal Manggis yang berair tenang hingga ke awal ia bermula, gerbang air Plerret. Umumnya kanal dimanfaatkan untuk pengairan sawah, akan tetapi ada juga yang menggunakannya untuk mandi-minum ternak, juga tambak ikan tawar.

Gerbang air Plerret adalah bendungan Kali Manggis (kali di timur Kota Tuinn) yang berupa tanggul setinggi 2.5 meter dengan 3 pintu air di timur Payaman. Sekilas tidak ada yang istimewa di tempat ini.

Keberadaan batu-batu kali ukuran lemari es yang terdampar di persawahan pinggiran lembah meyakinkan saya bahwa dulu Kali Manggis telah ada ribuan tahun silam. Kali pun semakin dalam karena aliran kali yang menggerus bebatuan dan membawa endapan ke pantai selatan. Keberadaan gerbang Plerret juga mengurangi kecepatan aliran kali ke gerbang Poncol.

"Walaupun Belanda menjajah bangsa Indonesia, tentu masih ada peninggalan-peninggalan positif yang diakibatkannya. Entah langsung maupun tidak."

***

Tak terasa hari semakin siang. Pegal dan lelah mulai membebani tubuh saya, beruntung awan membentengi saya dari panas matahari langsung. Sudah waktunya bagi saya kembali ke rumah dengan langkah pelan namun pasti.

Liburan Bersama Nenek (Bagian 2)

Senja hari barulah nenek mengajak untuk menyusuri sepanjang Jalan Malioboro dengan andhong. Nenek memang tidak menjelaskan perbedaan andhong, delman, maupun kereta lain yang ditarik oleh kuda. Nenek hanya menunjukkan, kemudian ikut menawar harga untuk mengendarai kereta ini.
Harga yang disepakati dari Stasiun Tugu sampai Alun-Alun Kidul adalah Rp 70.000,00. Entah sesuai, maupun belum sesuai, harga itu sudah cukup murah daripada penawaran awal, Rp 100.000,00. Mungkin harga itu tidak begitu mahal kalau melihat kelangkaan andhong pada sore itu.

Sepanjang jalan nenek menunjukkan sekaligus menjelaskan hal unik sepanjang Jalan Malioboro, misalnya gedung DPR, pepohonan yang hilang sepanjang jalan, toko batik yang berjajar, pasar, museum serta gedung gubernur. Sebelum titik nol, nenek meminta untuk mengarahkan pandangan di sisi sebelah kiri jalan. Saat itu terdapat miniatur gajah dengan aksesoris warna di kulitnya. Memang di trotoar sebelah timur perempatan jalan menuju ke Alun-alun Utara selalu dipajang instalasi sebagai benda seni untuk publik.

Ibu ini benar-benar orang sini, ya?” komentar pak kusir keheranan atas kelancaran narasi nenek.
Lo, dari tadi dikira bohong, ya?” Spontan, kami semua protes.
Mungkin pak kusir khawatir

Nenek kembali beraksi ketika andhong kami sudah menyusui alun-alun.
Kemarin di sini ada sekaten.” Beliau menunjuk bekas-bekas di lapangan. “Tapi, sekarang sudah selesai?”
Kenapa?”Saya heran.
Entah .... Dengar-dengar ada yang tidak berkenan.”
Wah, Ibu juga tahu itu?” Pak kusir heran lagi.
Wah, ini mana pemandunya, mana wisatawannya?”
Lha, saya bukan orang sini, e.” Jawab pak kusir malu-malu.
Panjenengan tiyang pundi?” Kemudian, nenek dan pak kusir mengobrol.

Setelah alun-alun andhong memasuki kampung di lingkungan keraton. Jalan yang dilewati dapat disebut jalan utama di perkampungan itu. Oleh karena itu, rumah-rumah di sepanjang jalan kampung itu masih dapat disebut besar. Semakin masuk ke perkampungan pasti jalan dan rumah-rumah semakin kecil dan letaknya tidak beraturan. Demikian pula jalanannya, lama kelamaan mengecil serupa gang senggol.

Saya melihat sebagian besar rumah-rumah tersebut dijadikan cafe atau warung kopi. Sampai di pertigaan menuju Pasar Ngasem, nenek menunjukan arah menuju kafe yang paling elit dan mahal di wilayah keraton. Pada perjalanan berangkat, saya tidak melihat penunjuk arahnya. Sebaliknya, saya dapat melihat dengan jelas spanduk penunjuk arah kafe tersebut.

Sampai di Alun-alun selatan saya baru sadar, rupanya nenek ingin mengajak cucunya naik sepeda mobil (atau mobil sepeda?). Pernah membaca berita di internet. Saya pun hanya melihat fotonya. Baru saat itulah saya melihat bentuk sepeda mobil.

Sebagai mobil, bentuknya tak beda dengan mobil, namun hanya rangka saja. Sebagai sepeda, sepeda ini tidak berlantai dan dilengkapi rangka sebagai pijakan serta tempat pedal sepeda. Dilengkapi lampu di setiap sisi bagian tubuhnya, sepeda ini tidak memiliki pintu dan jendela. Lampu-lampu itu menyala jika dikayuh. Lebih meriah lagi, musik terdengar kencang dari kendaraan ini.

Para keponakan harus menunggu sampai hari gelap untuk dapat menyewa sepeda itu. Namun, mereka tidak resah menunggu sebab mereka menghabiskan waktu dengan perang gelembung sabun. Jika capek, mereka melihat sekitar sebentar. Di sekitar para penjual tak mau kalah, mereka membuat hujan gelembung balon dengan alat yang lebih besar sebagai pembuat gelembung. Sampai akhirnya permainan itu berhenti karena cairan sabun telah habis dan si tengah ingin arum manis.

Saat alam mulai gelap para keponakan segera memilih sepeda mobil yang ingin mereka kendarai. Beberapa kali berganti pilihan, semua mengambil posisi. Si sulung memegang kendali kemudi, yang lain mengambil posisi di samping dan di belakang.

Saya pikir akan aman, damai, dan tenteram. Sambil mengayuh, saya dapat menikmati warna ungu senja. Saya pun akan lebih dapat menikmati anggun beringin kembar.

Kenyataan tidak semudah itu. Kami merasa sangat geli sehingga kesulitan untuk mengayuh. Satu sama lain saling mengomentari, lalu tertawa geli. Dalam keadaan tertawa, kayuhan terasa semakin berat, sampai-sampai si tengah mengayuh ke belakang. Namun, kami semua tertawa gembira. Ketika beristirahat di depan bekas kandang gajah di pojok Alun-alun Selatan, nenek masih saja membahas sehingga kami terbahak kembali.

Untuk pulang, nenek memilih becak yang tepat. Baru saya tahu, sekarang sudah ada becak dengan mesin motor. Seperti sopir kendaraan lain, sopir becak melengkapi diri dengan SIM. Sepanjang jalan si tengah tertawa kegirangan. Tak terasa deru motor becak membawa kami kembali ke rumah nenek, membuat liburan bersama nenek semakin menggembirakan.

-Retno Winarsi Handayani- #Terkabul2015

Selasa, 20 Januari 2015

Liburan Bersama Nenek (Bagian 1)

Libur telah tiba
Libur telah tiba
Hatiku gembira

Liburan memang menggembirakan. Manggung bersama kelompok rebana di kampung sendiri sampai jalan-jalan ke candi, pasti menggembirakan. Demikian pula bertemu dan di-cipika-cipiki nenek juga menggembirakan. Walaupun menginap jauh dari rumah sendiri, walaupun diganggu saudara tiga hari tiga malam oleh sepupu, liburan bersama nenek semestinya unik dan menggembirakan.

Mungkin itulah yang dialami ketiga keponakan saya. Tinggal jauh di luar kota membuat para keponakan jarang bertemu dengan nenek. Ketika mereka bertemu sang nenek, ekspresi gembira tidak dapat mereka sembunyikan.

Pagi itu para keponakan berlarian dengan riang di taman sekitar Masjid Syuhada. Mereka dijanjikan untuk bertemu sang nenek di sana. Kebetulan, kegembiraan mereka tidak mengganggu jadwal kunjungan nenek ke masjid tersebut.

Sambil mengawasi keriangan para keponakan, saya melihat ke sekeliling. Saya melihat bangunan masjid yang tidak sekadar bangunan masjid. Saya amati di bawah bangunan utama terdapat sekolah PAUD dan kantor pengelola Masjid Syuhada. Saya dapati pula di sekitar bangunan masjid yang didominasi cat hijau tersebut terdapat taman bermain serta lapangan kecil untuk sepak bola.

Masid Syuhada yang berada di tengah kota Yogyakarta, tepatnya di Jalan Kotabaru, memang sudah dikenal tidak hanya sebagai tempat ibadah. Masjid ini juga dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat akad nikah. Jadwal akad di masjid ini sungguh padat. Konon jadwal ini disusun kurang lebih enam bulan sebelum pelaksanaan akad.

Selain itu, Masjid Syuhada mengelola sekolah. Awalnya hanya sekolah Taman Kanak-Kanak. Karena masyarakat percaya dengan pola pendidikan sekolah ini, tingkat sekolah itu berkembang. Saat ini Masjid Syuhada sudah menyelenggarakan pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Atas.

Pada jam sekolah lingkungan itu terasa ramai. Sekelompok siswa SD Syuhada asyik bermain sepak bola. Di antara keriuhan mereka, terdengar lagu riang anak taman kanak-kanak. Di jalan depan lalu lalang mobil orang tua siswa menjemput selain pengendara yang memanfaatkan jalan. Di sekeliling pintu gerbang masjid bertebaran penjual. Minuman dingin, roti, tahu bakso, pempek, somay, kentang goreng, sampai mainan anak-anak, jilbab, sampai pakaian, semua tinggal pilih.

Di sekitar kesibukan di sekitar masjid dan beberapa gerombolan orang tua yang menunggui siswa, beberapa pengusaha menawarkan dagangan.
Berapa? Lima ribu?” Tanya nenek.
Enggak, Eyang. Dua puluh lima ribu.” Seorang pemudi tersipu di sebelah pemuda yang menenteng plastik besar.
Pantes, ayam goreng kok, lima ribuan, ya.” Nenek menimpali supaya suasana meriah.
Uang diterima, saya melirik kotak plastik transparan di tangan keponakan, “Ayam Goreng Kost-Kosan.” Selain nama produk dan merek, di kotak tersebut ditulis nomor kontak. Saya pikir, mereka mahasiswa kreatif. Ada saja yang memanfaatkan peluang ibu-ibu, orang tua siswa sekolah ini.

Keramaian itu dapat menghiasi keunikan bangunan Masjid Syuhada. Bangunan masjid berbentuk limas yang dilengkapi dengan tangga besar menuju tempat ibadah. Sisi-sisi kayu pada bangunan tampak unik, dari jauh garis-garis coklat itu memberi garis batas pada warna cat hijau bangunan tersebut.



Sayangnya, sejarah Masjid Syuhada tersembunyi. Saya tidak akan menemukan sebuah tugu kecil kalau tidak karena mengawasi keponakan yang berlarian. Tugu itu tidak lebih dari 2 m dari marmer yang berwarna abu-abu. Pada tiga perempat ketinggian tugu ini terdapat kotak hitam kecil yang berukirkan tulisan arti penting Masjid Syuhada pada pertempuran Perang Dunia II.


Tugu peringatan di Masjid Syuhada


Dulu Syuhada belum sebesar ini,” kata Nenek. “Bangunannya masih kecil. Tempat ini dulu jadi tempat pertahanan tentara. Banyak pejuang yang syahid di sekitar masjid ini,” lanjut Nenek. Sayang, dilihat dari bidang ilmu sejarah, keterangan Nenek kurang lengkap. Nenek hanya menggambarkan suasana pertempuran pada saat itu.

Liburan dengan nenek dilanjutkan ke rumah beliau. Berada di antara toko makanan khas dan cendera mata khas Yogyakarta, rumah nenek ramai oleh lalu lalang kendaraan. Lalang, bahkan kemacetan itu memuncak pada tanggal-tanggal libur karena bus-bus besar, bus wisata, berkeliaran di sepanjang jalan sebelah barat di belakang Jalan Malioboro.

Tidak heran, rumah beliau hanya berselang sekitar beberapa rumah dari Toko Bakpia Pathok 75. Makanan ringan yang berisi kacang hijau ini sangat dikenal dan disukai oleh para wisatawan. Walaupun bakpia 75 sudah dihargai paling tinggi, toko ini masih selalu ramai.

Lama tak mengunjungi rumah panjang itu, saya melihat pabrik tegel di sebelah rumah sudah benar-benar tutup. Debu menggumpal di dinding pabrik itu. Padahal, dahulu pabrik ini selalu ramai oleh pekerja yang membuat tegel untuk memang memenuhi kebutuhan lantai bangunan sekitar Yogya. Seiring dengan perkembangan model lantai, tegel tidak laku sehingga kegiatan di pabrik ini berhenti.

Selain nilai sejarah, penutupan itu memang disayangkan. Model-model tegel tersebut unik. Beberapa di antara model itu masih dipasang di depan halaman pabrik yang sekarang dijadikan lapangan parkir gratis.

Saya amati beberapa toko baru muncul di sepanjang jalan ini. Beberapa toko cendera mata, seperti kaos dan sandal tampak menghiasi beberapa toko bakpia yang berjajar di sepanjang jalan. Toko kue modern itu turut menyesaki jalanan tersebut. Kata nenek, toko kue atau roti itu didirikan oleh salah satu finalis acara mencari bakat di salah satu stasiun televisi. Bahkan, roti-roti itu dibuat dan disusun sendiri oleh sang finalis.
Namun, nenek tidak mengajak berbelanja di toko tersebut. Beliau justru mengajak makan siang di salah satu warung bakso di daerah Sido Arum, nama sebuah desa di daerah barat laut Yogya. Setelah menyusuri jalan desa yang berkelok-kelok, beliau memandu sampai dapat menemukan warung yang benar-benar berupa warung yang sederhana bangunan dan perabotnya.

Syukurlah, para keponakan tidak mempermasalahkan tempat. Mereka makan dengan lahab begitu masing-masing semangkok bakso dan mie ayam terhidang di depan mereka. Mereka tidak memedulikan bentuk bakso besar yang dibelah sehingga menyerupai bunga teratai, cantik. Tidak sampai lima belas menit, .... tandas.

(bersambung...)

-Retno Winarsi Handayani- #Terkabul2015